13.09.2011
Ni Jess masih di Jakarta. Tinggal semingguan lagi. Sempat terpikir mau ke Bali dan udah browsing tiket. Tapi setelah dipikir-pikir, akhirnya diputuskan untuk jalan ke Garut dan Pangalengan. Kami, Wira, Ni Jess dan saya, berangkat hari selasa 13 September. Bermodalkan mobil pinjaman dari papa & mama Wira, kami berangkat pagi. Tidak terlalu pagi juga sih, sekitar jam setengah 8 pagi. Perjalanan ke Garut memakan waktu sekitar 5 jam. Kami sampai di kota Garut sekitar jam setengah satu siang. Sempat berputar-putar dulu untuk mencari tempat makan. Dengan bantuan tante Garmin, akhirnya kami menuju Mulih K Desa yang merupakan bagian dari Restoran Bumbu Desa. Suasana pedesaan yang asri lengkap dengan sawah, kolam ikan dan kerbau yang sedang berendam menyambut kedatangan kami. Tempat makan berupa saung-saung membuat kami dapat menikmati keindahan alam. Ikan warna warni berlalu lalang di bawah saung. Seperti orang kalap, kami memesan beragam makanan. Hehehehe...ini juga sambil memenuhi keinginan ni Jess untuk menikmati makanan Indonesia. Tahu tempe, ayam bakar, ikan bakar, tumis jamur dan genjer ludas kami lahap. Nikmat banget rasanya atau efek kelaperan ya?! :D Selesai makan siang, kami lanjutkan perjalanan ke Candi Cangkuang di desa Cangkuang. Disini kami parkir di tanah lapang yang didedikasikan untuk parkiran dan juga lapangan bola. Dari parkiran, kami harus berjalan sedikit untuk mencapai loket penjual tiket. Harga tiket masuknya Rp. 11.000 untuk kami bertiga. Dan untuk mencapai Candi Cangkuang dari loket tiket harus naik rakit bambu karena letaknya seperti disebuah pulau di tengah-tengah danau. Untuk rakit ini kami harus merogoh Rp. 70.000 karena saat itu hanya kami yang menuju candi itu. Seru juga jalan-jalan ketempat ini.
0 Comments
Kali ini adalah kali kedua saya mengunjungi tempat ini. Saya pergi bersama rombongan lebih besar bersama Wira, orangtua Wira, Uni Jess, Riguel & Michelle. Perjalanan saya dan Wira pertama kali ke situs ini bisa dibaca di sini.
Pada kunjungan kedua ini, ada Pak Kaisin yang menemani kami dan bercerita tentang sejarah candi ini. Pak Kaisin adalah pemandu dan penjaga situs Candi Jiwa di Batujaya. Cerita pak Kaisin membuat kunjungan jadi lebih menarik. Selain ke candi, kami juga melihat-lihat beberapa barang temuan disekitar candi ini dan disimpan di museum setempat. Wah...tidak terasa sudah hari terakhir di Belitung. Pagi ini saya tidak telat bangun. Setelah shalat subuh, saya langsung mengambil kamera dan menuju pantai. Mmmmhhh...lagi-lagi langit berawan. Tapi saya mendapat beberapa foto yang cukup cantik walaupun sunrise-nya agak mengecewakan. Foto-foto berlanjut untuk mendokumentasikan tempat kami menginap. Buat yang penasaran seperti apa tempat saya menginap, bisa melihat foto-foto di bawah.
Saya kembali ke kamar setelah puas memotret dan bersiap-siap untuk kembali ke Jakarta. Kami baru akan kembali ke Jakarta sore hari, tapi karena akan jalan dulu sebelum pulang, barang-barang harus dibereskan terlebih dahulu. Sebelum pergi ke Tanjung Tinggi, saya bersama Ketty, Nuy dan Michelle pergi hunting foto di sekitar cottage. Setelah itu kami semua berangkat ke Tanjung Tinggi untuk melihat salah satu lokasi syuting film Laskar Pelangi. Seperti sebelum-sebelumnya, kami berfoto dan memotret. Kemudian dilanjutkan sarapan pagi dan bermain di pantai. Sarapan pagi nasi goreng + telor mata sapi dan kelapa muda terasa nikmat sekali. Setelah puas di Tanjung Tinggi kami kembali ke penginapan untuk mengambil barang-barang dan menuju eks tambang kaolin. Ternyata tambang ini yang terlihat dari atas pesawat berwarna biru kehijauan. Dari atas pesawat memang terlihat indah, begitu juga bila dilihat langsung. Walaupun sesungguhnya itu adalah salah satu sisa perusakan alam Belitung. Sebelum ke eks tambang kaolin, kami mampir untuk makan Mie Belitung Atep. Mie yang disertai taoge, tahu, kentang rebus, udang, timun dan disiram kuah udang serta taburan emping. Rasanya agak manis karena menggunakan gula aren sebagai salah satu campuran kuahnya. Untuk pecinta pedas, tambahkan sambal supaya jadi lebih nikmat. Mie Belitung Atep ini sudah mulai berjualan lebih dari 30 tahun di jalan Sriwijaya, Tanjung Pandan. Meja panjang dengan kursi plastik tersusun berjajar. Harga sepiring mie Belitung Atep sekitar Rp. 10.000. Ukuran satu porsinya tidak terlalu besar dan pas untuk saya. Dari warung mie ini, kami berlanjut ke pusat kerajinan & oleh-oleh khas Belitung. Gak lucu kan kalo pulang jalan-jalan tidak membawa oleh-oleh :) Wira membeli kopi Manggar di sini. Tempat pastinya saya kurang tahu :) Dari tambang kaolin, kami langsung diantar oleh Pak Ito ke bandara. Perjalanan ke Jakarta cukup baik dan baru terasa lelahnya setelah sampai di rumah :) Hari ini bangun kesiangan, padahal maksudnya mau hunting sunrise. Apalagi sunrise-nya pas banget di depan penginapan. Langsung shalat subuh dan ambil kamera lalu nongkrong di pantai untuk nunggu mataharinya muncul. Tapi sayangnya hari ini agak berawan, jadi gak bisa deh lihat matahari yang bagus muncul dari garis batas laut. Jadinya foto-foto disekeliling tempat saya duduk aja deh. Peserta yang lain juga belum pada bangun.
Sambil terus memotret saya berjalan ke arah kiri cottage. Saya bahkan juga bertemu dengan bapak-bapak yang kemudian bercerita kalau daerah ini sempat akan dikembangkan, bahkan sudah sempat dibangun beberapa bangunan setengah jadi, tapi entah kenapa dibatalkan dan sekarang bangunan-bangunan itu terbengkalai begitu saja. Menurut bapak itu, tempat ini mulai ramai semenjak film laskar pelangi ditayangkan. Perjalanan saya lanjutkan hingga mencapai bagian berbatu-batu dari pantai ini. Pantai di depan cottage kami menginap bebas dari bebatuan. Batu-batu berukuran besar ini bukan batu karang seperti layaknya yang ada di pantai/laut melainkan batu granit. Ukurannya juga bervariasi dari yang kecil sampai jumbo. Menarik buat jadi obyek foto, apalagi kalau ada obyek lainnya. Wah...ternyata pemikiran saya bersambut dengan datangnya mama Ita dan papa Djoni ke tempat saya berada. Kebetulan mereka juga minta difoto, sehingga jadilah beberapa frame foto mereka berdua di tempat ini. Sekitar sebulan sebelum kedatangan uni Jess ke Indonesia, Wira dan keluarga sibuk berdiskusi mau mengajak ni Jess jalan-jalan kemana. Setelah berdiskusi diputuskan kami akan pergi ke Belitung. Sebuah pulau di Indonesia yang belum pernah kami kunjungi dan mulai ngetop setelah film 'Laskar Pelangi' yang berlokasi di sana.
Tiket pesawat dipesan via website. Setelah dibandingkan sana-sini, ternyata yang cukup murah menggunakan Sriwijaya Air. Untuk tiket pulang pergi kami menghabiskan sekitar Rp. 1,3 juta/orang karena saat ini sedang musim orang mudik lebaran. Kalau tidak di peak season, biasanya bisa dapat harga sekitar Rp. 800 ribu. Saya dan Wira sibuk memesan tiket dari Thailand. Saat membeli tiket, kami masih berada di Khon Kaen dalam rangka menyelesaikan tugas akhir sekolah Wira. Kami memesan 11 tiket. Yupp...kami pergi dengan rombongan besar :). Hari ini kami berangkat ke Belitung naik pesawat jam 6 pagi. Janjian ketemu sama geng Belma di Bandara Soekarno Hatta. Urusan check-in berjalan lancar, pesawat pun cukup ontime. Sekitar jam 8 kami sudah sampai di Belitung. Untuk keliling di Belitung, kami menggunakan jasa Pak Ito (rekomendasi dari Yani). Perjalanan kami hari ini akan menjelajahi bagian daratan pulau Belitung. Tujuan pertama adalah Kuil Dewi Kwan Im di daerah Belitung Timur. Dari bandara, perjalanan memakan waktu sekitar 1,5 jam untuk sampai ke tempat ini. Dari kejauhan, bangunan berwarna merah dengan arsitektur Cina di atas bukit menyambut kedatangan kami. Kami melihat-lihat dan tidak lupa memotret kuil yang terawat ini. Kami menghabiskan sekitar setengah jam di kuil ini dan tidak lupa membuat group picture pertama. 08.11.2010
This morning we all get ready to go to Surabaya. We leaved after having breakfast. Yeah...this hotel including breakfast. After asking about place to find some souvenirs from Malang, we decided to went to Jl. Semeru. But on the way, I think we kinda missed the road. After going around for a while finally we found the way. From Malang the souvenirs weren’t a clothes or pins but foods. I bought some kripik tempe (tempe chips). This is typically Malang. Enough with souvenirs we continued the trip to Surabaya. We reached Surabaya around 1 p.m. And decided to had lunch first before we going around. Depot Bu Rudy was our destination for lunch. It’s a restaurant that known for the really hot sambal (condiment contained chilly peppers). The foods were delicious with a big size iced tea on side. Before going we also bought some bottles of sambal. Nuy, Ketty and Rory really a maniac to this sambals :). 06.11.2011
We will go back to Surabaya and then met Ketty, Rory and Alex there. After that we will went to Mount Bromo (also known as Bromo). Ketty already chartered a car for us to go to Bromo. To go back to Surabaya we used the Silver Travel again. This time we met Ketty and others in Nasi Pecel Khas Surabaya stall. Because Nuy & me hadn’t any breakfast, we decided to ate here first before went to Bromo. The nasi pecel only cost you Rp. 5000 and taste good. The car that we chartered cost Rp. 250.000 and we pay Rp. 100.000 for the driver. The trip to Bromo took about 4 hour. We chat along the way. We stayed at Cafe Lava Hotel in Bromo. The room rate Rp. 360.000. This hotel took placed just before entrance gate to Bromo. We arrived in Bromo around 4 p.m. After put our bag in hotel, we went to find something to eat and something warm. Because it’s quite cold in Bromo and raining. Hopefully the weather’s good tomorrow morning because we would like to see sunrise. In here you can find out another way of looking Malang, Bromo & Surabaya. Taken with my Hipstamatic.
This is another old story from my other blog about one of my traveling. A week get away with my sisters in law and friends. What interest me most is Bromo. Never been there before. There was a plan made in 1988. But because of one accident in Bali, the plan was canceled. After that, my sisters already had a chance to visit Bromo. This story will be divided into 3 stories: Malang, Bromo and Surabaya.
04.11.2010 I have to met Nuy in Malang on Nov, 3rd 2010. But, because I have to take care some important stuff then I move my schedule one day. So my flight on Nov, 4th was at 6 a.m. The plane is delayed about 30 minutes but all the way was quite nice. The pilot even told us about the smoke produced by Mount Merapi (it was erupting few days before). The flight took about an hour. After I gathered my luggage, I have to find the transportation to go to Malang. Nuy had told me about the one she used the night before. After made a few phone call then the transportation was settle. A little bit about Juanda Airport. Once I look at it, I think it’s a nice and clean airport. When the plane landing, you can see lots of Egret bird (burung Kuntul). But the information board not really informative. It’s kinda hard to find some places. Even when I ask some officers, the answer not really clear. There’s a plenty of shops you can see and some restaurant and coffee shop too. But unfortunately the people who used this airport not really behave. You can’t find any spot that smoke’s free. Everybody just smoking everywhere. It’s really annoying for me. This is my second time went to Bali. As I mention before in my posting about Bali, that I had a trauma in Kuta. This time, June 2010, I had a chance to go to Bali with other returnees Nacel Open Door. There's around 19 people got the chance but some of them hadn't been able to go. So there's only 10 of us ++ (Melissa, Vita, Tisi, Yani, Finny, Bona, Doddy, Gema, Lucky and me). Why I put ++, because Wira (my husband) are going with us too.
Melissa, Tisi, Vita, Yani, Doddy, Gema, Finny and me went on Friday morning. Really early in the morning. Our flight will scheduled at 6.35 am with Air Asia and it’s quite on time. We arrived in Bali around 9.30 am and already picked up by rental car that had been arranged before. We start our morning in Bali by having breakfast at Warung Made. Don’t asked me how to get there, because that’s the reason we rent a car with the local driver :). In Warung Made, we’re having quite big breakfast. I ordered tuna sandwich and fries and ice lemon tea. It taste delicious and cost me Rp. 47.000. It took us about one and half hour to finished our meal. And then we continue to Turtle Island. Dimulai dari permintaan Tante Nani untuk jadi tim medis acara kempingnya FORTUGA dan berakhir menjadi acara outing pertama tahun ini :)
Sudah lama tidak pergi jalan-jalan ke alam bebas. Jauh dari hingar bingar kota Jakarta. Walaupun sempat terjebak kemacetan dalam perjalanan menuju tempat kemping. Dan nyasar sedikit dari tempat tujuan :) Menginap di Camp Bravo, Cidahu bersama kurang lebih 100 orang FORTUGA dan keluarga. Suasana pedesaan yang sangat kental dengan alam terbuka disekeliling kita. Walau disambut dengan hujan sepanjang perjalanan dari parkiran sampai Camp Bravo yang jauhnya sekitar 1 km. Selain hujan, perjalanan naik turun bukit dan menyeberangi sungai juga menjadi kendala walaupun tidak mematahkan semangat untuk pergi ketempat ini. Semua kesulitan itu terpuaskan dengan suasana tempat kemping yang sangat nyaman. Kamar mandi yang bersih, saung-saung tempat makan, mushola untuk shalat, air pegunungan yang membelah tempat ini dan juga makanan yang dimasak oleh warga setempat terasa sangat nikmat. Tenda-tenda sudah tersedia sebagai pengganti kamar tidur. Suara keyboard dan nyanyian dari pendopo menghibur hati di saat hujan. Nagasari dan Colenak menjadi cemilan sore hari yang dingin dan basah, ditemani oleh segelas kopi atau teh hangat. Nikmat sekali rasanya... Foto-foto ini adalah foto perjalanan saya di Sumatera Barat. Suatu hari ketika saya sedang mengunjungi Wira di Padang, Miya, sepupu saya yang tinggal di Padang, mengajak saya dan Wira untuk pergi ke Bukittinggi dan Maninjau.
Kami melihat pelangi yang indah di daerah Padang Pariaman. Bahkan dua busur pelangi muncul disaat yang bersamaan. Saat itu hujan menemani perjalanan kami dan dengan indahnya pelangi itu muncul menjelang maghrib... Subhanallah... Berjalan-jalan di Bukittinggi dan bertemu dengan Melissa yang kebetulan juga sedang berada di Bukittinggi untuk hunting foto Jam Gadang. Saat itu bulan purnama bersinar dengan terang. Orang-orang bermain dan berjualan di taman sekitar jam gadang. Sudah lama tidak posting disini. Padahal ada beberapa hal yang pengen ditulis. Sekarang kita mulai lagi deh....
Tempat makan kali ini terletak di jalan akses tol Karawang Barat. Tepatnya di depan perumahan Resinda. Tempat makan ini dinamakan MEIJI FOODCOURT. Makanan yang dijual disana seperti judulnya adalah sate. Disini dijual sate ayam dan sate kambing. Selain itu ada juga sop kambing/ayam. Warung sate madura Pak Nur buka setiap hari mulai dari jam 4 sore dan tutup bila dagangan sudah habis. Apa istimewanya sate ditempat ini? Sate kambingnya empuk dan tidak bau 'mbek'. Begitu juga dengan daging sop-nya. Begitu juga dengan sate ayamnya. Kalo sop ayam belum pernah saya cobain. Harga makanan disini pun cukup terjangkau. Harga sate ayam Rp. 10.000/porsi, sate kambing Rp. 13.000/porsi dan sop kambing Rp. 10.000/porsi. Di MEIJI FOODCOURT banyak juga jenis makanan lainnya seperti nasi uduk (yang ini enak juga), sate maranggi, dll. Untuk warung sate madura Pak Nur saya memberikan 4 bintang. Silakan dicoba kalo mampir di Karawang. Mmmmhhhh... mungkin bingung dengan judul diatas. Comset itu kependekan dari combro setan. Kenapa namanya mesti begitu? Bukan karena combro ini dijual di kuburan kok, tetapi karena rasa combro ini yang sangat pedas. Bisa bikin kuping 'budek' saking pedasnya tapi bikin pengen lagi. Combro ini seperti combro lainnya berisi oncom yang dibungkus dengan singkong parut dan berbentuk bulat. Tetapi selain oncom, terdapat juga gilingan cabe rawit sebagai campurannya. Cabe rawit ini lah yang menyebabkan istilat 'setan' muncul :) Ukuran combro ini berdiameter 1,5-2 cm.
Comset ini dijual di tukang gorengan yang berjualan di jalan Tambakbaya (samping SD Karawang Kulon). Satu buah comset harganya Rp. 600. Tukangnya cuma jualan di sore hari saja (belum sempet ditanya jam berapa pastinya, ntar di update lagi deh). Makanan ini cocok untuk orang-orang yang suka dengan makanan yang pedas dan bikin kuping 'budek'... Apakah ini makanan khas Karawang? saya sendiri kurang tahu, karena baru disini saya menemukan comset. Oh ya...ada dua tempat yang jualan comset ini, tapi yang satu lagi belum ketemu tempatnya...ntar di update lagi ya kalo sudah ketemu :D Dah lama nih gak nulis ato posting photo di multiply. Pengen banget nulis tapi belum sempet juga. Padahal ada cerita dari perjalanan sebulan yang lalu yang pengen di-posting. Untuk sementara yang singkat aja dulu deh ceritanya yang di-posting duluan.
Cerita ini berawal pada suatu percakapan di pagi hari di meja makan. Pada saat itu saya sedang menyantap bubur ayam yang dibeli dari seorang tukang bubur ayam tentunya Selama tinggal di rumah yang ini, saya belum pernah membeli bubur ayam Cirebon. Biasanya saya beli bubur ayam Tambun. Tapi karena pengen banget bubur ayam dan adanya tukang yang ini (bubur ayam Cirebon) jadi saya belilah 3 mangkok. Bukan buat saya semua kok. Saya membeli bubur untuk saya 1 mangkok, Kaysan 1 mangkok isi setengah porsi dan Ibu (nenek saya) 1 mangkok. Ibu kebagian juga bubur ini karena hari ini dia mau duduk di teras, sebagai hadiah saya belikan semangkok bubur dan habis. Ternyata buburnya enak juga rasanya. Saat itu ada Ni Shanty di meja makan dan saya berkata "Ternyata enak juga ya bubur yang ini. Gue belum pernah beli nih." Ni Shanty berkata, "kemana aja selama ini? Emang biasanya beli bubur ayam yang mana?" Singkat cerita bubur ayam berakhir pada penawaran Ni Shanty untuk pergi ke Bandung karena menurut dia bubur ayam di depan rumah Martanegara juga enak :) Padahal dia males pergi naik travel tuh. Jika saya ditanya, "kerja dimana sekarang?". Biasanya saya akan menjawab, "Rengasdengklok". Dan respon tersering yang saya dengar adalah, "dimana tuh?". Mmmmhhhhh...agak repot saya menjawabnya.
Satu hal yang saya ingat dari pelajaran sejarah ketika SD, SMP dan SMA tentang Rengasdengklok adalah tempat ini termasuk tempat penting pada proses kemerdekaan bangsa Indonesia. Salah satu cerita tentang Peristiwa Rengasdengklok bisa dibaca di sini. Ceritanya, pada hari Kamis tanggal 30 April 2009, saya berkesempatan untuk berkunjung ke rumah bersejarah Rengasdengklok. Rumah bernomor 1533 di Dusun Bojong, Kec. Rengasdengklok ini dimiliki oleh Djiaw Kie Siong, seorang petani keturunan Cina yang tinggal di pinggiran sungai Citarum. Rumah yang setelah terjadinya banjir besar pada tahun 1956 akhirnya dipindahkan ke tempat yang baru pada tahun 1957. Tempat yang baru ini hanya berjarak beberapa puluh meter dari lokasi aslinya. Sementara lokasi aslinya sendiri sekarang sudah berdiri sebuah tanggul untuk mencegah banjir. Meskipun rumah ini adalah rumah bersejarah tetapi menurut pengakuan cucu Djiaw Kie Siong, mereka tidak mendapatkan dana untuk merawat rumah tersebut dari pemerintah. Hingga sempat terlintas oleh keluarga untuk menjual rumah ini karena keluarga merasa berat dengan biaya pemeliharaannya. Sangat disayangkan memang. Tetapi perawatan rumah yang terbuat dari kayu jati ini memang membutuhkan dana yang tidak kecil. Kali ini tempatnya tidak berada di kota Karawang. Tetapi ada di Rengas Dengklok. Memang Rengas Dengklok masih berada di Kabupaten Karawang.
Sorabi atau serabi ini adalah makanan khas Indonesia. Yang membedakan serabi ini dengan serabi yang lain adalah konsistensi dan kuahnya. Serabi ini lebih kenyal dibandingkan serabi lain. Serabinya pun hanya 1 warna yaitu hijau dengan zat pewarnanya menggunakan daun pandan suji. Perbedaan yang lain adalah memakannya dengan disobek dan 'dicocol' pada kuahnya yang kental. Jadi tidak disiram dengan kuah. Rasa kuahnya ada 2 macam yaitu rasa manis biasa dan rasa durian. Untuk harga sekotak serabi biasa (isi 10 buah dengan kuah rasa biasa) Rp. 14.000, sedangkan untuk serabi durian (isi 10 buah serabi dengan kuah rasa durian) Rp. 15.000. Pembuatan serabi ini masih menggunakan cara tradisional yaitu dimasak dengan menggunakan tungku kayu bakar dan gerabah (apa ya namanya?). Bagaimana cara mencapai tempat itu? Dari tol Cikampek, keluar di pintu tol Karawang Barat lalu melewati akses jalan tol ke arah kota Karawang. Lalu naik ke flyover dan belok kiri di lampu merah. Susuri saja jalan Pangkal Perjuangan (bypass) sampai bertemu terminal Tanjung Pura (setelah melewati bunderan) di sebelah kanan jalan. Lalu belok kanan kearah Rengas Dengklok. Susuri saja jalan itu, sekitar 10 km. Setelah bertemu Teminal Rengas Dengklok (yang nyaris tidak ada kehidupan, kecuali petugas terminal yang duduk-duduk di depan terminal) belok ke kiri kearah Tugu Proklamasi. Diujung jalan itu, belok ke kanan dan setelah beberapa meter akan ketemu pertigaan dan ambil jalan ke kiri. Gak jauh dari situ, keliatan deh tempat jualan serabinya. Rasanya enak, cocok untuk mendapat 4 bintang. Ide jalan-jalan ke Situ Gunung muncul ketika returnees NOD 2 sedang kumpul-kumpul dibulan Maret. Kebetulan Tisi punya rumah yang bisa kita pakai. Lumayan nih ada tempat tinggal gratisan :) Jadilah kami menentukan tanggal 17-19 April 2009 untuk pergi kesini.
Tanggal 17 April malam, kami janjian untuk ketemuan di Citos jam 7 malam. Selain saya, yang berangkat ada Tisi (tentunya yang punya tempat), Melissa, Elsza, Diah, dan Yani. Kami berangkat menggunakan 2 mobil. Karena satu dan lain hal, kami baru berangkat meninggalkan Jakarta sekitar pukul 10 malam dan sampai di tempat menginap, Villa Cemara Cisaat, setelah lewat pukul 1 pagi. Mendadak perut kami keroncongan. Efek sampai tengah malam sepertinya :) Jadilah beberapa orang mengisi perut dengan pop mie. Setelah itu kami bersiap untuk tidur. Di Villa Cemara ada 3 kamar yang tersedia dengan kapasitas 10 orang. Berhubung hari cukup dingin, jadilah kami menumpuk disatu kamar. Kami bangun cukup siang hari ini dan langsung menyantap sarapan pagi yang sudah disediakan. Tisi sudah mengatur dengan pemilik warung didekat Villa Cemara untuk menyediakan makan kami. Sarapan pagi ini dengan nasi uduk, telur dadar, kering tempe dan sambal. Setelah leye-leye sejenak, kami memutuskan untuk berjalan ke danau di Taman Wisata Alam Situ Gunung. Selain danau, disini bisa juga pergi ke air terjun. Sebelum masuk ke kawasan yang berada di Gunung Gede Pangrango ini, kita harus membeli tiket. Perjalanan dari Villa Cemara ke danau tidak memakan waktu terlalu lama karena villa tersebut berada di depan pintu masuk kawasan ini. Tetapi karena sudah siang, danau sudah tidak terlalu bagus untuk difoto. Kami hanya menghabiskan waktu 30 menit untuk foto-foto ditempat ini. Setelah berdiskusi sejenak, kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan ke air terjun. Sebagai pemandu, Tisi belum pernah melakukan perjalanan dari danau langsung ke air terjun dalam satu waktu. Tapi karena memikirkan harus berjalan menanjak kearah pintu gerbang masuk kawasan Situ Gunung dilanjutkan perjalanan ke air terjun, kami berusaha mencari tahu apakah ada jalan lain menuju air terjun tanpa harus lewat pintu gerbang. Setelah bertanya pada penduduk sekitar yang kebetulan lewat dan ditunjukkan jalan yang harus kami ambil, kami pun mulai berjalan. Berdasarkan info, memakan waktu 30 menit untuk mencapai air terjun (tapi kalau kuat jalan menanjak tanpa putus napas :D). Jadilah kami cukup optimis untuk memulai perjalanan. Kalau dipikir-pikir, banyak yang bisa dilakukan sambil menunggu panggilan untuk membius pasien di Rengas Dengklok. Antara lain adalah mengeksplorasi Kabupaten Karawang. Baik mengeksplorasi makanan khas daerah Karawang maupun tempat-tempat tujuan wisata di Karawang. Hal tersebut yang membuat saya memutuskan untuk berkeliling Karawang mencari tempat menarik untuk dikunjungi. Ikuti cerita-cerita saya, barangkali bisa jadi tujuan wisata suatu hari nanti.
Tempat yang selalu memanggil hati untuk dikunjungi adalah Candi Jiwa Batujaya. Kenapa begitu menarik? Ketika kita keluar dari jalan tol Cikampek di pintu tol Karawang Barat, akan terlihat sebuah papan hijau dengan ukuran sedang bertuliskan “Candi Jiwa Batu Jaya 49 km”. Sepengetahuan saya selama ini, candi-candi itu biasanya ada di daerah Jawa Tengah dan Jogjakarta. Well, mungkin ini karena pengetahuan sejarah saya yang terbatas. Sehingga tulisan itu menggugah saya untuk pergi berkunjung. Kebetulan sekali, keluarga suami saya juga belum ada yang pernah kesana. Setelah pembicaraan dan perdebatan yang cukup panjang. Saya dan suami memutuskan untuk pergi ketempat ini. Bermodalkan peta Karawang yang tidak terlalu “up to date” tapi masih bermanfaat, google earth dan hasil browsing di “om google” kami berangkat. Wisata kuliner di Karawang kali ini adalah Soto Gempol. Soto ini ngetop banget di daerah Karawang. Bahkan banyak orang yang mau pergi ke Bandung, bela-belain keluar di Karawang Barat hanya untuk mampir ke tempat ini. Rumah makan ini terletak di jalan lama Karawang, tepatnya Jalan Rangga Gede No. 33. Makanan yang tersedia disini adalah soto dengan isi daging, ayam, dan babat. Bisa juga pesan isi campur. Soto yang gurih ini mirip dengan soto betawi yaitu menggunakan santan. Bedanya, kalau soto betawi ini warnanya putih, sedangkan soto gempol warnanya kekuningan. Soto ini dinikmati dengan acar dan perasan jeruk nipis serta sepiring nasi hangat. Saking ramainya orang yang makan di tempat ini, ketika saya datang, isi yang tersedia hanya tinggal ayam dan babat saja. Yang jadi masalah, adalah saya lupa bertanya pastinya harga soto tersebut. Karena ketika saya makan disana, hanya harga total saja yang disebutkan oleh pelayan. Nanti akan dicari tahu lagi deh dengan makan disana :)
Saya memberikan 4 bintang untuk soto ini. Wisata kuliner selanjutnya adalah Bakso Yatmin.
Terletak di Jalan Dewi Sartika Karawang, dekat pasar buah. Tempat ini sudah ada sejak jaman dahulu kala. Bahkan jamannya mertua saya masih pacaran lebih dari 30 tahun yang lalu, mereka pernah beberapa kali ketempat ini. Tempat ini selalu ramai dikunjungi warga Karawang. Makanan yang tersedia di Bakso Yatmin adalah mie ayam dan mie bakso. Jenis bakso yang tersedia juga bermacam-macam seperti bakso urat, dll. Sedangkan untuk minuman tersedia es teler, es jeruk dan kelapa muda, serta jus alpukat. Makanan dan minuman disini berkisar antara Rp. 1000 - Rp. 9000. Untuk rasa saya berikan 3 bintang untuk tempat ini. Sudah 4 tahun saya menikah dengan laki-laki yang tumbuh dan besar di Karawang, tetapi hanya sedikit sekali yang saya ketahui tentang kota Karawang. Maklum, tiap mampir ke Karawang, kita lebih banyak ngendon di rumah, ngobrol sampe menjelang pagi trus balik ke Jakarta. Tempat yang dikunjungi biasanya cuma Galuh Mas dan Resinda.
Tetapi sejak 3 minggu yang lalu, saya lebih sering berada di Karawang dibanding sebelumnya. Karena saya mulai bekerja disana. Pada minggu kedua keberadaan kami disana, suami saya menemukan sebuah buku berjudul 365 makanan di Indonesia yang dikeluarkan oleh sebuah pabrik obat. Halaman pertama adalah ulasan makanan di daerah Karawang. Berdasarkan buku itu, saya memutuskan untuk mulai mencoba makanan-makanan tersebut. Makanan pertama yang saya coba adalah BUBUR AYAM PAK WASLIM. Apa istemewanya bubur ayam ini? Mmmmhhhh....saya adalah penyuka bubur ayam. Saya selalu berusaha untuk mencoba bubur ayam di setiap daerah. Menurut buku yang ditemukan, Bubur Ayam Pak Waslim ini termasuk bubur ayam yang enak. Tempatnya ada di Alun-alun kota Karawang. Tepatnya di depan kantor Telkom. Tidak ada tulisan "Bubur Ayam Pak Waslim" di depan gerobaknya. Tulisannya cuma "Bubur Ayam". Dibandingkan tempat bubur ayam yang lain disekitar Alun-alun, memang tempat bubur ayam ini yang paling ramai. Selain bubur ayam, disini juga ada Soto Tangkar, soto khas Karawang. Tempat ini modelnya kaki lima. Buka dari jam 6.00 sampe jam 9.00 pagi. Seperti apa bubur ayamnya? Bubur ayam ini tidak terlalu cair, agak padat. Sehingga satu mangkok cukup membuat kenyang perut saya. Dilengkapi dengan kacang kedele goreng, ayam suir yang cukup banyak, bumbu santan kuning yang gurih, serta kerupuk. Bumbu kuning dan kerupuk bisa nambah sesuka hati karena disediakan bumbu santan kuning botolan di atas meja. Ada pilihan tambahan lain seperti usus, ati ampela, dll. Harganya? Untuk semangkok bubur ayam polos tanpa ati ampela atau telur puyuh Rp.7000. Sedangkan untuk semangkok bubur ayam plus ati ampela/telur puyuh Rp. 9000. Rasanya memang enak dan saya memberikan 4 bintang. Today...I went to see the Greenpeace ship called ESPERANZA with Klab Main. This ship can be seen by public only for one day which is today from 1 pm to 4 pm. We saw the ship at Tanjung Priok Port.
It's quite fun trip with all the little children. One of my nephew feel dizzy being on board because this is the first time he get on a ship. The Greenpeace ship ESPERANZA sailing around Indonesia taking part on "Forest for Climate" campaign. Esperanza is the biggest ship owned by Greenpeace and at this journey they want to defend the natural rain forest in Papua. According to the campaign director of Southeast Asia Greenpeace, Shailendra Yashwant, Esperanza`s visit to Indonesia was meant to urge the government to implement a moratorium soon on all forms of forest conversion, including industrial deforestation, expansion of oil palm plantations, and other activities which can cause deforestation. This pictures was taken when the ship called East Indiaman Götheborg came to Tanjung Priok Port, Jakarta. My friend, Intan, asked me to go to saw the ship. So...here we are Intan, Yani, Kaysan dan Me got on the board.
The East Indiaman Götheborg (Swedish: Ostindiefararen Götheborg) is a large wooden sailing ship, a replica of the East Indiaman Götheborg (an archaic spelling of Göteborg: Gothenburg). The original sank off Gothenburg, Sweden, on 12 September 1745 while approaching its home harbour after returning from her third voyage to the Far East. All sailors survived, but the ship was lost. This replica start to sail on October 2005 with the route Götheborg Sweden, Cadiz Spain, Recive Bolivia, Cape Town and Nelson Mandela Bay South Africa, Fremantle Australia, Jakarta Indonesia, Guangzhou, Shanghai and Hongkong in China before went back to Sweden through Suez Canal. The route to China followed approximately the 18th century original route, with the added detour to Australia (although in the 18th century, they usually avoided ports to avoid pirates). The journey home took the shortcut through the Suez Canal while they during the 18th century had to go back around South Africa. Click "read more" to see more pictures. |
Categories
All
Blog WalkingArchives
January 2024
|