One day in July 2011 I woke up early in the morning and looking through the window in our apartment and there was a beautiful painting created by God. Subhanallah... a beautiful sunrise as a marker of a beautiful day. In such a hurry, I grab my camera and start taking pictures. I don’t want to miss the moment. I always love sunrise and sunset.
During the fasting month, I always wait for the sunrise. I even think about making a week of sunrise project. But the rainy season just ruined my week sunrise project. So I decided to take every sunrise that I can get until the rest of my stay in Khon Kaen. I enjoyed the benefit staying in 6th floor apartment by viewing the sunrise without any building blocking the view :)...
0 Comments
Beberapa hari yang lalu Wira pulang dari kampus sambil membawa makanan untuk berbuka. Wira berkata, “Yang, aku beli buah tapi gak tau namanya nih. Kita coba aja nanti rasanya.” Buah yang dibawa bulat, berwarna kecoklatan dan tampak seperti dibelah-belah tapi masih menempel.. Kata Wira buah itu dikupas lalu dicincang. Ukurannya sebesar jambu biji. Setelah waktu berbuka, rupanya Wira masih penasaran dengan buah tersebut dan mencobanya. “Asemmmm..... Buah apa sih ini?”, seru Wira sambil menyeringai keaseman. Saya sendiri baru mencoba buah itu setelah kami makan nasi dan agak malam. Ketika saya makan buah tersebut, saya merasakan rasa yang familier sekali. Saya bilang ke Wira, “rasanya kayak manggis.” Tapi bukan manggis sebenarnya yang ada di otak saya. Maksud saya adalah kecapi. Buah yang sudah jarang saya temukan di Jakarta. Akhirnya setelah dimakan lebih lanjut kami memutuskan buah ini memang kecapi. Apa yang unik dari kecapi ini? Yang unik dari buah ini adalah ukuran buahnya yang sangat besar, sekitar 2-3 kali kecapi di Indonesia. Kira-kira sebesar jambu biji medan yang sering dijadikan manisan di Indonesia. Saya rasa itu yang membuat Wira tidak ‘ngeh’ kalau itu adalah kecapi. Keunikan kedua adalah cara makan buah ini. Jika ingat jaman papa masih suka bawa kecapi sekarung dari kebun di Cileungsi, cara makannya adalah dibanting ke lantai sampai pecah atau dijepit di pintu. Dan yang dimakan adalah bagian bijinya. Rasanya asam manis tergantung tingkat kematangan buah tersebut. Kalau disini, buah itu dikupas kulitnya lalu dibelah-belah (seperti membelah jambu biji tapi tidak sampai terpisah). Dan kulitnya itu dimakan juga, bukan hanya bijinya seperti yang biasa saya makan (hanya bagian bijinya saja). Ketika saya mencoba buah ini, saya memakan kulitnya dan rasanya seperti kecapi. Dan ketika Wira membeli som tam ditempat langganan kami, ternyata ada orang yang memesan makanan mirip som tam tapi salah satu bahan yang dipakai adalah sih kulit kecapi ini. Ntah makanan apa itu, karena bahasa kami terbatas sehingga tidak bisa bertanya.
Kemarin saya terpikir untuk membuat tulisan ini dan bilang sama Wira untuk membeli kecapi lagi buat difoto. Hari ini Wira pulang dengan membawa kecapi. Selain memotret kecapi yang dibeli untuk foto tulisan ini, saya juga mencoba memakan bagian kulit kecapi tersebut. Ternyata kalau kita makan sekitar setengah ketebalan bagian dalam (yang dekat dengan biji) rasanya asam manis mirip bagian biji. Malah lebih dominan rasa manisnya. Sedangkan setengah bagian luarnya agak asam dan hambar. Jadilah akhirnya saya memakan kulit kecapi itu :) Hahaha...dapat ilmu baru nih, jadi pengen coba kecapi yang di Indonesia :). Kalo punya pengalaman makan kecapi selain yang biasa, silahkan share ya.... Sudah 2,5 bulan saya tinggal dikota ini, bahkan minggu depan sudah kembali ke Jakarta, tetapi belum banyak yang saya tuliskan tentang kota ini. Kali ini saya akan menceritakan sedikit tentang lingkungan tempat tinggal kami.
Kami tinggal di sebuah apartemen. Begitulah sebutan yang biasa digunakan untuk tempat tinggal seperti kami ini. Sebenarnya tempat ini lebih mirip kos-kosan di Indonesia. Kenapa saya sebut kos-kosan? Karena yang disewakan hanya kamar dengan kamar mandi di dalam, tanpa dapur. Sehingga selama disini saya tidak bisa memasak, kecuali dengan alat-alat masak yang menggunakan listrik seperti pemanas air dan rice cooker. Ukuran kamar kami cukup besar, total dengan kamar mandi sekitar 6,5 m x 3,5 m. Dan kamar kami juga memiliki balkon yang menghadap timur, sehingga setiap pagi (bila tidak sedang hujan) kami bisa menikmati sunrise dan matahari pagi. Bingung membaca judul diatas? Tidak usah bingung, karena saya akan bercerita sedikit tentang benda ini.
Songtaew yang dalam bahasa aslinya berarti two row atau dua baris adalah salah satu moda transportasi massal yang ada di Thailand. Kendaraan ini mirip dengan omprengan/mikrolet/angkot di negara kita. Songtaew ini menggunakan mobil jenis pick-up yang ditambah dengan sejenis tutupan yang terbuat dari besi pada bagian belakangnya (lihat fotonya saja ya kalau bingung). Mirip dengan omprengan tapi bukan menggunakan terpal sebagai tutupan. Tutupan dibagian belakang ini cukup tinggi sehingga penumpang bisa berdiri didalamnya. Kendaraan ini semi terbuka. Pada bagian bak yang semi tertutup ini disediakan 2 buah bangku panjang 2. Kapasitas songtaew ini bisa sampai dengan sekitar 20-22 orang (kalau maksa banget). Dua belas orang duduk di kursi panjang (@ 6 orang) dan 6 berdiri diantara kursi panjang, 2-4 orang pada bagian belakang dan 1-2 orang disamping supir. Kita masuk dari bagian belakang songtaew yang sudah dimodifikasi sehingga mudah untuk naiknya. Karena semi terbuka, pada bagian sisi songtaew dipasang terpal/plastik untuk menghindari masuknya air hujan (tutupannya mirip kayak di bajaj). Seperti mikrolet dan angkot di Indonesia, songtaew juga bisa diberhentikan dimana saja. Penumpang cukup membunyikan bel yang ada di dekat tempat duduk. Biayanya jauh dekat 9 THB (atau sekitar Rp. 2500). Sebenarnya dibawah tulisan 9 THB ada pilihan lagi 6 THB dan 5 THB, mungkin itu untuk pelajar dan anak-anak. Di Khon Kaen ada sekitar 21 jurusan songtaew yang bisa mengantar kita berkegiatan. Rute songtaew di Khon Kaen bisa dilihat disini. Menu makan siang kami kemarin adalah makanan khas Isan. Tempat kami tinggal sekarang, Khon Kaen, termasuk dalam wilayah Isan. Makanan yang kami makan adalah khao niao (nasi ketan), som tam (salad pepaya muda) dan ayam goreng. Seharusnya yang terakhir itu kai yang (ayam bakar), baru deh lengkap makanan khas Isan-nya.
Biasanya di Sumatera Barat, nasi ketan dimakan bersama durian, pisang goreng, sarikaya, atau tape hitam. Sedangkan khai niao di daerah Isan biasa dimakan sehari-hari bersama lauk pauk. Walaupun biasanya pasangannya seperti disebut diatas. Salah satu makanan khas Isan yang lain adalah som tam. Ini adalah salad pepaya muda yang diserut dan dikasih berbagai bumbu. Pertama, bumbu-bumbunya diulek pake ulekan seperti untuk bikin rujak bebek. Lalu ditambahkan pepaya muda yang sudah diserut. Kadang ada tambahan lain seperti kacang tanah goreng atau kacang panjang. Ketika makan som tam bisa ditemukan empat rasa utama pada masakan Thai yaitu asam, pedas, asin khas fish sauce dan manis. Makanan ini bisa juga ditemukan di Laos dan Cambodia. Saya sudah pernah coba yang di Phnom Penh. Bedanya, disini lebih pedas. Rasanya enak dan segar. Sepertinya ini salah satu makanan yang harus dipelajari cara bikinnya :). Bila kita memesan som tam, biasanya langsung dibikin di depan kita, sehingga bisa request bila tidak ingin terlalu pedas atau yang lain-lain. |
Categories
All
Blog WalkingArchives
July 2024
|