Sebenernya ini cerita lama yang agak telat ditulis. Tapi tidak masalah jika diceritakan sekarang.
Setahun yang lalu, ketika Wira dan saya tinggal di Khon Kaen, beberapa kali kami pergi ke Bangkok untuk berkunjung dengan menggunakan bis. Nama perusahaan bis yang kami gunakan adalah Nakhonchaiair. Meskipun namanyanya ada kata “air” bukan berarti ini adalah pesawat :). Bis AC yang lengkap dengan pramugari/pramugaranya cukup nyaman untuk perjalanan jauh antar kota. Kami cukup membayar 384 THB (sekitar Rp. 120.000) untuk perjalanan Bangkok-Khon Kaen atau sebaliknya. Untuk biaya sebesar itu biasanya kami mendapat kursi yang cukup nyaman dan bisa diatur. Jika cukup beruntung, kita bisa dapat jenis kursi pijat, sehingga tetap nyaman selama dalam perjalanan. Selain itu, dengan biaya tersebut kita biasanya dapat makanan, minuman dan snack. Well...kalau makanannya berupa daging, hampir bisa dipastikan itu babi. Jadi pas dikasih makanan harus lihat-lihat dulu. Wira pernah beruntung dengan mendapat lauk ayam. Pada beberapa bis juga terdapat monitor disetiap kursi, sehingga kita bisa pilih sendiri hiburan selama perjalanan. Tapi jika tidak ada, maka di atas bis tersedia monitor ukuran lebih besar dan hiburannya biasanya lagu atau film bahasa Thailand. Perjalanan Bangkok-Khon Kaen atau sebaliknya membutuhkan waktu sekitar 6 jam.
0 Comments
One day in July 2011 I woke up early in the morning and looking through the window in our apartment and there was a beautiful painting created by God. Subhanallah... a beautiful sunrise as a marker of a beautiful day. In such a hurry, I grab my camera and start taking pictures. I don’t want to miss the moment. I always love sunrise and sunset.
During the fasting month, I always wait for the sunrise. I even think about making a week of sunrise project. But the rainy season just ruined my week sunrise project. So I decided to take every sunrise that I can get until the rest of my stay in Khon Kaen. I enjoyed the benefit staying in 6th floor apartment by viewing the sunrise without any building blocking the view :)... Beberapa hari yang lalu Wira pulang dari kampus sambil membawa makanan untuk berbuka. Wira berkata, “Yang, aku beli buah tapi gak tau namanya nih. Kita coba aja nanti rasanya.” Buah yang dibawa bulat, berwarna kecoklatan dan tampak seperti dibelah-belah tapi masih menempel.. Kata Wira buah itu dikupas lalu dicincang. Ukurannya sebesar jambu biji. Setelah waktu berbuka, rupanya Wira masih penasaran dengan buah tersebut dan mencobanya. “Asemmmm..... Buah apa sih ini?”, seru Wira sambil menyeringai keaseman. Saya sendiri baru mencoba buah itu setelah kami makan nasi dan agak malam. Ketika saya makan buah tersebut, saya merasakan rasa yang familier sekali. Saya bilang ke Wira, “rasanya kayak manggis.” Tapi bukan manggis sebenarnya yang ada di otak saya. Maksud saya adalah kecapi. Buah yang sudah jarang saya temukan di Jakarta. Akhirnya setelah dimakan lebih lanjut kami memutuskan buah ini memang kecapi. Apa yang unik dari kecapi ini? Yang unik dari buah ini adalah ukuran buahnya yang sangat besar, sekitar 2-3 kali kecapi di Indonesia. Kira-kira sebesar jambu biji medan yang sering dijadikan manisan di Indonesia. Saya rasa itu yang membuat Wira tidak ‘ngeh’ kalau itu adalah kecapi. Keunikan kedua adalah cara makan buah ini. Jika ingat jaman papa masih suka bawa kecapi sekarung dari kebun di Cileungsi, cara makannya adalah dibanting ke lantai sampai pecah atau dijepit di pintu. Dan yang dimakan adalah bagian bijinya. Rasanya asam manis tergantung tingkat kematangan buah tersebut. Kalau disini, buah itu dikupas kulitnya lalu dibelah-belah (seperti membelah jambu biji tapi tidak sampai terpisah). Dan kulitnya itu dimakan juga, bukan hanya bijinya seperti yang biasa saya makan (hanya bagian bijinya saja). Ketika saya mencoba buah ini, saya memakan kulitnya dan rasanya seperti kecapi. Dan ketika Wira membeli som tam ditempat langganan kami, ternyata ada orang yang memesan makanan mirip som tam tapi salah satu bahan yang dipakai adalah sih kulit kecapi ini. Ntah makanan apa itu, karena bahasa kami terbatas sehingga tidak bisa bertanya.
Kemarin saya terpikir untuk membuat tulisan ini dan bilang sama Wira untuk membeli kecapi lagi buat difoto. Hari ini Wira pulang dengan membawa kecapi. Selain memotret kecapi yang dibeli untuk foto tulisan ini, saya juga mencoba memakan bagian kulit kecapi tersebut. Ternyata kalau kita makan sekitar setengah ketebalan bagian dalam (yang dekat dengan biji) rasanya asam manis mirip bagian biji. Malah lebih dominan rasa manisnya. Sedangkan setengah bagian luarnya agak asam dan hambar. Jadilah akhirnya saya memakan kulit kecapi itu :) Hahaha...dapat ilmu baru nih, jadi pengen coba kecapi yang di Indonesia :). Kalo punya pengalaman makan kecapi selain yang biasa, silahkan share ya.... Sudah 2,5 bulan saya tinggal dikota ini, bahkan minggu depan sudah kembali ke Jakarta, tetapi belum banyak yang saya tuliskan tentang kota ini. Kali ini saya akan menceritakan sedikit tentang lingkungan tempat tinggal kami.
Kami tinggal di sebuah apartemen. Begitulah sebutan yang biasa digunakan untuk tempat tinggal seperti kami ini. Sebenarnya tempat ini lebih mirip kos-kosan di Indonesia. Kenapa saya sebut kos-kosan? Karena yang disewakan hanya kamar dengan kamar mandi di dalam, tanpa dapur. Sehingga selama disini saya tidak bisa memasak, kecuali dengan alat-alat masak yang menggunakan listrik seperti pemanas air dan rice cooker. Ukuran kamar kami cukup besar, total dengan kamar mandi sekitar 6,5 m x 3,5 m. Dan kamar kami juga memiliki balkon yang menghadap timur, sehingga setiap pagi (bila tidak sedang hujan) kami bisa menikmati sunrise dan matahari pagi. Bingung membaca judul diatas? Tidak usah bingung, karena saya akan bercerita sedikit tentang benda ini.
Songtaew yang dalam bahasa aslinya berarti two row atau dua baris adalah salah satu moda transportasi massal yang ada di Thailand. Kendaraan ini mirip dengan omprengan/mikrolet/angkot di negara kita. Songtaew ini menggunakan mobil jenis pick-up yang ditambah dengan sejenis tutupan yang terbuat dari besi pada bagian belakangnya (lihat fotonya saja ya kalau bingung). Mirip dengan omprengan tapi bukan menggunakan terpal sebagai tutupan. Tutupan dibagian belakang ini cukup tinggi sehingga penumpang bisa berdiri didalamnya. Kendaraan ini semi terbuka. Pada bagian bak yang semi tertutup ini disediakan 2 buah bangku panjang 2. Kapasitas songtaew ini bisa sampai dengan sekitar 20-22 orang (kalau maksa banget). Dua belas orang duduk di kursi panjang (@ 6 orang) dan 6 berdiri diantara kursi panjang, 2-4 orang pada bagian belakang dan 1-2 orang disamping supir. Kita masuk dari bagian belakang songtaew yang sudah dimodifikasi sehingga mudah untuk naiknya. Karena semi terbuka, pada bagian sisi songtaew dipasang terpal/plastik untuk menghindari masuknya air hujan (tutupannya mirip kayak di bajaj). Seperti mikrolet dan angkot di Indonesia, songtaew juga bisa diberhentikan dimana saja. Penumpang cukup membunyikan bel yang ada di dekat tempat duduk. Biayanya jauh dekat 9 THB (atau sekitar Rp. 2500). Sebenarnya dibawah tulisan 9 THB ada pilihan lagi 6 THB dan 5 THB, mungkin itu untuk pelajar dan anak-anak. Di Khon Kaen ada sekitar 21 jurusan songtaew yang bisa mengantar kita berkegiatan. Rute songtaew di Khon Kaen bisa dilihat disini. Since I knew that Wira will be placed in Khon Kaen, Thailand, I start to looking places to visit. I I found an application for iPhone that quite nice to have if we plan to go to or stay at Thailand. The application called iThai - Thailand Official Guide. It’s a free app :). And when we know our friend will come to Bangkok and then my sister 2 weeks after that, we start to look where we would like to go in Bangkok. And then I decided I want to visit Chatuchak Weekend Market, Floating Market, Ayutthaya and Jim Thompson House Museum. That was some places you can go if you stay 10 days in Thailand from iThai version. Since I already visit Grand Palace and lot of temples on my first visit, so I didn’t plan to go back there. From 4 places I planned, so far only 3 that really happening. Floating Market just to far away and Wira not really sure how to get there.
Finally I had a chance to visit Jim Thompson House Museum. We arrived there around 4 pm. You can get there by taking BTS to National Stadion. From there just look at the information board and it will show you where you have to go to. From National Stadion BTS station, you have to walk about 400 meters to reach Jim Thompson House Museum. Entry ticket for adult 100 THB and for children, student/international student 50 THB. Since both of us still have valid ISIC (International student card), we only have to pay 50 THB each. Finally...on my third time visiting Bangkok, Wira & I had a chance to visit Ayutthaya. We went there with 3 other friends from Indonesia who’s having Asia trip at that time.
Ayutthaya took place about 86 km north of Bangkok. In 1350-1767, Ayutthaya was a capital city of Thai. It was once glorified as one of the biggest city in Southeast Asia. Today, Ayutthaya has groups of crumbling ruins and rows of headless Buddha where once an empire thrived. The architecture of Ayutthaya is a fascinating mix of Khmer (ancient Cambodian style) and early Sukhothai style. Some cactus-shaped obelisks, called prangs, denote Khmer influence and look something like the famous tower of Angkor Wat. The more pointed stupas are ascribed to the Sukhothai influence. We leave Bangkok to Ayutthaya at 11 am by air conditioned bus. You can take the bus from Chatuchak Bus Terminal (Mochit). It tooks 1,5 hours to get there. Otherwise you can take train. When we arrived in Ayutthaya, we used tuktuk as our transportation to get around. If you had spare time, you can rent a bicycle to get around. We spent 200 THB/person to paid tuktuk for 5 hours. Luckily, we got a tuktuk’s driver who can speak English. Wira was the one negotiated with the tuktuk driver. Menu makan siang kami kemarin adalah makanan khas Isan. Tempat kami tinggal sekarang, Khon Kaen, termasuk dalam wilayah Isan. Makanan yang kami makan adalah khao niao (nasi ketan), som tam (salad pepaya muda) dan ayam goreng. Seharusnya yang terakhir itu kai yang (ayam bakar), baru deh lengkap makanan khas Isan-nya.
Biasanya di Sumatera Barat, nasi ketan dimakan bersama durian, pisang goreng, sarikaya, atau tape hitam. Sedangkan khai niao di daerah Isan biasa dimakan sehari-hari bersama lauk pauk. Walaupun biasanya pasangannya seperti disebut diatas. Salah satu makanan khas Isan yang lain adalah som tam. Ini adalah salad pepaya muda yang diserut dan dikasih berbagai bumbu. Pertama, bumbu-bumbunya diulek pake ulekan seperti untuk bikin rujak bebek. Lalu ditambahkan pepaya muda yang sudah diserut. Kadang ada tambahan lain seperti kacang tanah goreng atau kacang panjang. Ketika makan som tam bisa ditemukan empat rasa utama pada masakan Thai yaitu asam, pedas, asin khas fish sauce dan manis. Makanan ini bisa juga ditemukan di Laos dan Cambodia. Saya sudah pernah coba yang di Phnom Penh. Bedanya, disini lebih pedas. Rasanya enak dan segar. Sepertinya ini salah satu makanan yang harus dipelajari cara bikinnya :). Bila kita memesan som tam, biasanya langsung dibikin di depan kita, sehingga bisa request bila tidak ingin terlalu pedas atau yang lain-lain. Suatu akhir pekan pertengahan Juni 2011 kemarin, Wira diajak oleh salah satu pembimbingnya yang berasal dari Denmark untuk ikut jalan-jalan. Saya pun setuju untuk ikut serta. Rencana pergi kemana masih belum jelas. Sang pembimbing ingin pergi hiking di hutan. O..ooo... udah lama nih gak hiking. Terakhir hiking tahun 2009 di Situ Gunung (gak hiking beneran sih, tapi agak naik turun gunung gitu deh). Yang pergi saat itu Wira, Dan (pembimbing Wira), Op (gak jelas nulisnya gimana, dia orang Thailand, mahasiswa Dan di Kopenhagen) dan saya.
Kami bertiga ngikut saja sama Op sebagai guide & supir kita hari itu. Tujuan pertama kami adalah Phu Kradueng National Park dan kemudian Chiang Khan. Chiang Khan adalah suatu daerah di Thailand yang terletak dipinggir sungai Nam Kong (=Mekong) di Loei Province dan berbatasan dengan Laos. Daerah ini sendiri berada di daerah Isan (north east Thailand). Membutuhkan waktu sekitar 4 jam untuk mencapai tempat ini dari Khon Kaen. Disini kita bisa menemukan rumah-rumah kayu khas Thailand yang digunakan sebagai guest house, toko atau restaurant. Ketika masuk ke gang di daerah ini terkesan seperti kota di Jepang. Rumah-rumah kayu ini sudah direnovasi bahkan beberapa adalah bangunan baru. Hari ini hari kelima. Kami masih ada di Bangkok. Bangun pagi dengan kaki pegel-pegel yang cukup lumayan, kami pun bebenah buat berangkat ke Kuala Lumpur, Malaysia. Wah...barang bawaan nambah banyak nih sejak belanja di Suanlum Night Bazzaar. Untung kami sudah menyiapkan sebuah tas yang memang akan dikeluarkan ketika barang bawaan kami sudah bertambah banyak. Yang menyenangkan juga dari hotel ini adalah, mereka menyediakan timbangan :D Jadi ditimbang dulu deh barang bawaan kami. Jangan sampe kelebihan berat. Sebuah koper dan sebuah tas yang akan dimasukkan ke bagasi pun ditimbang dan beratnya hanya 28 kg. Wah masih cukup nih.
Pagi ini kami putuskan tidak sarapan pagi di hotel. Rencananya kami akan makan jam 11 saja, sebelum berangkat ke bandara. Berdasarkan cerita yang ditempel disamping pintu lift, Pad Thai di restaurant hotel ini adalah yang terbaik. Maka kami pun ingin makan siang di hotel, mencoba makanan terbaik mereka. Sambil menunggu jam sebelas, kami berjalan-jalan ke Khaosan Street. Itu jalan Jaksa-nya Jakarta. Tempat para turis backpackers menginap. Memang sepanjang jalan terlihat turis-turis yang membawa koper atau backpack mereka. Selain itu dijalan ini tersedia berbagai toko yang menjual berbagai kebutuhan seperti baju, mini market, toko cinderamata, toko telepon, biro perjalanan, dll. Semua ada deh... Ini hari keempat dari perjalanan 2 minggu kami dan Bangkok adalah kota dimana kami akan jalan-jalan hari ini.
Hari ini kami bangun tidak terlalu pagi. Tapi langsung mandi dan siap-siap untuk sarapan pagi yang didapat dari hotel. Hari sudah menunjukkan pukul 9 pagi ketika kami turun dan sarapan pagi di restaurant halal di hotel itu. Untuk sarapan kami harus membayar karena kamar yang kami pesan tidak termasuk sarapan. Jenis sarapannya bermacam-macam, mulai dari sarapan pagi ala barat sampai makanan Thailand. Sambil sarapan, kami membahas kemana kami akan jalan hari ini. Seperti hari-hari sebelumnya, kami sudah berbekalkan peta Bangkok dan buku Lonely Planet Southeast Asia on a Shoestring. Selain itu kami juga sempat berdiskusi dengan seorang karyawan agen wisata yang ada di hotel itu. Dia menganjurkan kami untuk menyaksikan pertunjukan Siam Niramit. Setelah kami setujui dan keluar uang sebesar 1900 Bath untuk 2 buah tiket, kami memulai perjalanan kali ini. Perjalanan pertama kami adalah Grand Palace & The Temple of Emerald Budha. Untuk mencapai tempat ini kami berencana menggunakan Boat/River Taxi yang dermaganya berada tidak jauh (kurang lebih 1 km) dari hotel kami. Di tengah perjalanan menuju dermaga, kami berhenti sejenak di Fort Phra Sumen. Benteng ini berada ditepi sungai ChaoPhraya. Potret-potret sejenak di Fort ini dan melanjutkan perjalanan menuju dermaga. Dermaga ini dapat dicapai dari 2 jalan. Jalan yang pertama melalui sebuah taman yang terletak disamping Fort Phra Sumen atau dari sebuah jalan kecil mirip gang sekitar 100 m setelah taman. Untuk naik Boat kami harus mengeluarkan uang sebesar 18 Bath/orang. Kami naik dari Dermaga Phra Ar Thit (N13) dan turun di Dermaga Maharat (N9). Dari dermaga kami perlu berjalan kaki lagi sekitar 500 m untuk mencapai Grand Palace. This is our third day on our vacation...
Hari ini kami bangun cukup siang. Rasa lelah karena berjalan seharian kemarin membuat kami memutuskan untuk tidur lebih lama. Malam sebelumnya, kami sudah merapikan barang bawaan kami, karena hari ini kami akan ke Bangkok, Thailand. Untuk perjalanan hari ini, kami cukup bingung, antara pergi ke Cu Chi Tunnel atau tetap berkeliling kota untuk melihat tempat yang belum kami kunjungi kemarin. Akhirnya kami putuskan untuk berkeliling kota saja. Karena kami takut kami tidak sampai tepat waktu di airport jika kami pergi ke Cu Chi Tunnel. So...Cu Chi Tunnel ada di daftar kunjungan kami berikutnya jika kami punya rejeki untuk kembali ke tempat ini Setelah sarapan, check out dan menitipkan barang di hotel, kami melanjutkan keliling kota. Tujuan kami adalah Ho Chi Minh Museum and Hard Rock Cafe. |
Categories
All
Blog WalkingArchives
July 2024
|