Lagi cari-cari ide buat bikin hantaran tahun ini, jadi pengen nulis sedikit tentang hantaran yang saya bikin tahun lalu. Melihat kakak saya membungkus hantaran untuk mertuanya menjelang lebaran membuat saya terpikir untuk membuat hantaran untuk mertua saya :). Langsung berpikir keras untuk mencari apa yang bisa dijadikan hantaran. Maklum ketika itu terpikir sudah hari-H a.k.a udah hari lebaran. Jadi gak mungkin beli kue atau hal-hal seperti itu. Ketika membuka kulkas saya teringat dengan salad buah yang saya bikin semalam. Memang sudah bertahun-tahun kami tidak buat kue sendiri dan karena rumah kami bukan yang sering dikunjungi setelah ibu pindah ke Shangrila, jadi mama meminta saya untuk membuat salad buah untuk sajian jika ada yang datang berkunjung. Jadilah salad buah itu sebagai bawaan saya untuk hantaran. Untuk tempat salad buah saya menggunakan tempat nata de coco yang berbentuk ember dan ada tutup serta penguncinya. Isinya sudah saya gunakan untuk membuat salad buah. Sedangkan untuk membungkus ember nata de coco saya menggunakan slayer rute bis transjakarta yang merupakan salah satu souvenir pada acara Kumkum bulan April 2010. Pemikiran menggunakan slayer ini supaya bisa dipakai ulang dan tidak menambah sampah. Untuk pengikat slayer, saya menggunakan pita yang juga bisa dipakai ulang untuk mengikat rambut. Dan jadilah hantaran saya dalam waktu kurang dari 1 jam :).
0 Comments
Beberapa hari yang lalu Wira pulang dari kampus sambil membawa makanan untuk berbuka. Wira berkata, “Yang, aku beli buah tapi gak tau namanya nih. Kita coba aja nanti rasanya.” Buah yang dibawa bulat, berwarna kecoklatan dan tampak seperti dibelah-belah tapi masih menempel.. Kata Wira buah itu dikupas lalu dicincang. Ukurannya sebesar jambu biji. Setelah waktu berbuka, rupanya Wira masih penasaran dengan buah tersebut dan mencobanya. “Asemmmm..... Buah apa sih ini?”, seru Wira sambil menyeringai keaseman. Saya sendiri baru mencoba buah itu setelah kami makan nasi dan agak malam. Ketika saya makan buah tersebut, saya merasakan rasa yang familier sekali. Saya bilang ke Wira, “rasanya kayak manggis.” Tapi bukan manggis sebenarnya yang ada di otak saya. Maksud saya adalah kecapi. Buah yang sudah jarang saya temukan di Jakarta. Akhirnya setelah dimakan lebih lanjut kami memutuskan buah ini memang kecapi. Apa yang unik dari kecapi ini? Yang unik dari buah ini adalah ukuran buahnya yang sangat besar, sekitar 2-3 kali kecapi di Indonesia. Kira-kira sebesar jambu biji medan yang sering dijadikan manisan di Indonesia. Saya rasa itu yang membuat Wira tidak ‘ngeh’ kalau itu adalah kecapi. Keunikan kedua adalah cara makan buah ini. Jika ingat jaman papa masih suka bawa kecapi sekarung dari kebun di Cileungsi, cara makannya adalah dibanting ke lantai sampai pecah atau dijepit di pintu. Dan yang dimakan adalah bagian bijinya. Rasanya asam manis tergantung tingkat kematangan buah tersebut. Kalau disini, buah itu dikupas kulitnya lalu dibelah-belah (seperti membelah jambu biji tapi tidak sampai terpisah). Dan kulitnya itu dimakan juga, bukan hanya bijinya seperti yang biasa saya makan (hanya bagian bijinya saja). Ketika saya mencoba buah ini, saya memakan kulitnya dan rasanya seperti kecapi. Dan ketika Wira membeli som tam ditempat langganan kami, ternyata ada orang yang memesan makanan mirip som tam tapi salah satu bahan yang dipakai adalah sih kulit kecapi ini. Ntah makanan apa itu, karena bahasa kami terbatas sehingga tidak bisa bertanya.
Kemarin saya terpikir untuk membuat tulisan ini dan bilang sama Wira untuk membeli kecapi lagi buat difoto. Hari ini Wira pulang dengan membawa kecapi. Selain memotret kecapi yang dibeli untuk foto tulisan ini, saya juga mencoba memakan bagian kulit kecapi tersebut. Ternyata kalau kita makan sekitar setengah ketebalan bagian dalam (yang dekat dengan biji) rasanya asam manis mirip bagian biji. Malah lebih dominan rasa manisnya. Sedangkan setengah bagian luarnya agak asam dan hambar. Jadilah akhirnya saya memakan kulit kecapi itu :) Hahaha...dapat ilmu baru nih, jadi pengen coba kecapi yang di Indonesia :). Kalo punya pengalaman makan kecapi selain yang biasa, silahkan share ya.... Sudah 2,5 bulan saya tinggal dikota ini, bahkan minggu depan sudah kembali ke Jakarta, tetapi belum banyak yang saya tuliskan tentang kota ini. Kali ini saya akan menceritakan sedikit tentang lingkungan tempat tinggal kami.
Kami tinggal di sebuah apartemen. Begitulah sebutan yang biasa digunakan untuk tempat tinggal seperti kami ini. Sebenarnya tempat ini lebih mirip kos-kosan di Indonesia. Kenapa saya sebut kos-kosan? Karena yang disewakan hanya kamar dengan kamar mandi di dalam, tanpa dapur. Sehingga selama disini saya tidak bisa memasak, kecuali dengan alat-alat masak yang menggunakan listrik seperti pemanas air dan rice cooker. Ukuran kamar kami cukup besar, total dengan kamar mandi sekitar 6,5 m x 3,5 m. Dan kamar kami juga memiliki balkon yang menghadap timur, sehingga setiap pagi (bila tidak sedang hujan) kami bisa menikmati sunrise dan matahari pagi. Bingung membaca judul diatas? Tidak usah bingung, karena saya akan bercerita sedikit tentang benda ini.
Songtaew yang dalam bahasa aslinya berarti two row atau dua baris adalah salah satu moda transportasi massal yang ada di Thailand. Kendaraan ini mirip dengan omprengan/mikrolet/angkot di negara kita. Songtaew ini menggunakan mobil jenis pick-up yang ditambah dengan sejenis tutupan yang terbuat dari besi pada bagian belakangnya (lihat fotonya saja ya kalau bingung). Mirip dengan omprengan tapi bukan menggunakan terpal sebagai tutupan. Tutupan dibagian belakang ini cukup tinggi sehingga penumpang bisa berdiri didalamnya. Kendaraan ini semi terbuka. Pada bagian bak yang semi tertutup ini disediakan 2 buah bangku panjang 2. Kapasitas songtaew ini bisa sampai dengan sekitar 20-22 orang (kalau maksa banget). Dua belas orang duduk di kursi panjang (@ 6 orang) dan 6 berdiri diantara kursi panjang, 2-4 orang pada bagian belakang dan 1-2 orang disamping supir. Kita masuk dari bagian belakang songtaew yang sudah dimodifikasi sehingga mudah untuk naiknya. Karena semi terbuka, pada bagian sisi songtaew dipasang terpal/plastik untuk menghindari masuknya air hujan (tutupannya mirip kayak di bajaj). Seperti mikrolet dan angkot di Indonesia, songtaew juga bisa diberhentikan dimana saja. Penumpang cukup membunyikan bel yang ada di dekat tempat duduk. Biayanya jauh dekat 9 THB (atau sekitar Rp. 2500). Sebenarnya dibawah tulisan 9 THB ada pilihan lagi 6 THB dan 5 THB, mungkin itu untuk pelajar dan anak-anak. Di Khon Kaen ada sekitar 21 jurusan songtaew yang bisa mengantar kita berkegiatan. Rute songtaew di Khon Kaen bisa dilihat disini. Setiap tahun di bulan Ramadhan biasanya saya selalu meluangkan waktu untuk bertemu dengan teman-teman dari berbagai latar belakang untuk berbuka bersama. Tapi tahun ini karena ada di Thailand, saya hanya bisa menikmati foto-foto teman-teman yang sedang berbuka bersama melalui jejaring sosial facebook. Saya pikir tahun ini bakalan berbuka di rumah saja atau sekali-sekali makan diluar. Ternyata tanggal 12 Agustus 2011 kemarin kami mendapat undangan berbuka bersama dari komunitas muslim di Khon Kaen University. Alhamdulillah...undangan itu kami sambut dengan senang hari :). Acara berbuka ini diadakan di gedung kegiatan mahasiswa KKU. Untuk mencapai ke sana, kami cukup naik songthaew no 16 yang lewat di dekat rumah dan turun tepat di seberang gedung kegiatan mahasiswa ini. Pengalaman pertama berpuasa di luar negeri, ketika saya mengikuti program pertukaran pelajar di Tennessee, USA tahun 1993-1994. Saat itu bulan puasa jatuh pada pertengahan Februari 1994 dan masih musim dingin. Sehingga waktu puasa sedikit lebih singkat daripada puasa di Indonesia. Waktu itu saya puasa mulai pukul 6 pagi sampai sekitar setengah 6 sore. Ini adalah pertama kali saya puasa sendiri. Biasanya di rumah ada mama/papa yang selalu membangunkan untuk sahur, semua orang berpuasa di rumah dan hampir semua orang berpuasa di sekolah dan lingkungan rumah. Saat itu, hanya saya sendiri yang berpuasa, karena memang di tempat saya tinggal, tidak ada orang yang beragama Islam. Tapi, Alhamdulillah, itu tidak menjadi kendala. Semua orang bisa menghargai keputusan saya untuk berpuasa dan kadang mereka bertanya tentang ritual puasa ini.
This album is for pictures of birds, squirrel and flowers I took during trip to Ayutthaya...
The black bird with yellow beak is the same kind of the bird that used to come to my balcony. I don't know the name. But this bird like teasing me because when I get my camera, she always fly away. In Ayutthaya, I found plenty of them :) The squirrels and flowers taken in Wihan Phra Mongkol Bopitah & Wat Yai Chaimongkon. I need tele and macro lenses to make it more beautiful... Jangan tanya siapa namanya, berapa umurnya, berapa orang anaknya. Yang saya tahu ia adalah seorang muslim. Karena hanya itu yang dikatakannya kepada saya ketika saya tersenyum padanya.
Seorang nenek yang dengan semangatnya membawa dagangan air niranya di sore hari yang panas. Senyumnya menunjukkan semangatnya. Aaahhh...betapa terharunya saya melihat si nenek. Di usianya yang sudah tidak lagi muda, ia masih semangat mencari nafkah. Kemanakah anak cucunya? Entahlah...karena bahasa menjadi masalah kami untuk bisa bercengkrama. Tapi saya tahu, segelas air nira plus es yang dijualnya terasa sangat nikmat dihari yang panas ini. Menyegarkan kerongkongan kami yang kering. Harganya pun tak mahal, hanya 10 THB, menambah nikmatnya air nira. Semoga rejeki si nenek dimudahkan Allah. Amin... Tinggal disebuah rumah dengan penghuni yang sangat peduli dengan pemanasan global membuat saya lama-lama terbiasa untuk berpikir ulang sebelum menggunakan kantong plastik.
Waktu tinggal di Jakarta, saya dan penghuni rumah lainnya mulai membiasakan diri untuk mengurangi penggunaan kantong plastik. Biasanya kami pakai kantong kain yang bisa digulung/dilipat sehingga mudah untuk dibawa-bawa. Kalau untuk belanja besar seperti kebutuhan sehari-hari di rumah, kami biasanya menggunakan kantong kain berukuran besar yang sering didapat kalau ada acara seminar. Memang kadang masih ada saat-saat tertentu saya menggunakan kantong plastik. Untuk kantong plastik sampah, kami mulai menggunakan kantong yang dapat hancur. Punya sisa benang waktu bikin Granny Square Poncho. Pikir-pikir mau bikin apa, akhirnya kepikiran buat bikin bungkus untuk harddisk external. Jadilah menghabiskan waktu sekitar 4 jam buat bikin pouch ini. Akhirnya si harddisk external punya baju juga :)
Ini sebenernya dibuat sebelum mulai bikin crochet. Waktu itu abis motong celana jeans Wira yang sudah robek disekitar lutut. Celana jeansnya dibikin jadi celana pendek dan sisanya gatel pengen dibikin sesuatu Lalu kepikiran deh untuk bikin pouch buat iPhone. Soalnya iPhone-nya baru abis ganti baju (selama ini dibungkus casing kulit) dan belum punya baju baru.
Bermodalkan jeans sisa celana, benang yang cuma 3 warna, jarum dan gunting, saya mulai membuat pouch ini. Karena lupa menyimpen meteran kertas dari IKEA dimana, akhirnya langsung pake iPhone sebagai cetakan ukuran. Setelah dilebihkan untuk menjahit, jeans digunting. Jahitan yang digunakan adalah "stik balik" (bener gak ya nulisnya) supaya hasil lebih rapih. Akhirnya dalam 1 jam, jadilah Jeans iPhone Pouch ala Tia. 100% handmade with lots of love. Berguna juga bisa menjahit yang gak cuma jahit kancing baju aja ;) Hobi makan yogurt kemasan/es krim cup? Ato hobi makan puding kemasan? Wah...wadahnya plastik semua tuh... Ingat... plastik gak bisa hancur kalau dibuang ke alam.
Hobi minum dingin? Wah...bisa klop nih dengan kegiatan reduce reuse recycle... Apa sih maksudnya???? Pertama kali belajar crochet/merenda waktu umur sekitar 13 tahun. Waktu itu ada seorang tante (Alm. Te' Etis) yang lagi tinggal di rumah dan membuatkan baju-baju Barbie buat saya dan Yani. Saya mencoba juga untuk membuat baju barbie. Hasil buatan saya memang tidak sebagus buatan Tek Etis, tapi saat itu saya cukup puas karena Barbie saya bisa ganti banyak baju. Harga baju Barbie ketika itu sangat mahal untuk ukuran saya, karena untuk membeli bonekanya saja, saya harus menabung dan menambahkan dengan uang salam tempel lebaran. Saya juga membuat bungkus gelas Tupperware (yang saat itu sedang populer) untuk membawa minuman kalau mama sedang main tenis. Bahkan saat itu, beberapa orang teman mama membeli bungkus gelas sejenis dari saya. Lumayan buat tambahan uang jajan :).
Sudah lama sebenernya pengen bikin benda yang satu ini. Tapi belum pernah kesampean. Baru sampai tahap niat doang. Tapi setelah mulai mengerjakan crochet lagi, akhirnya niatnya terlaksana juga. Butuh sekitar seminggu (kalau ditotalkan) untuk mengerjakan poncho ini. Tapi kalau dihitung dari mulai mengerjakannya, hampir 3 minggu (seminggu sakit dan hujan terus menerus di Khon Kaen, jadi gak bisa beli benang ).
Dibutuhkan 9,5 gulung benang @120 m untuk membuatnya. Tujuh warna benang katun dan hakpen 3 mm. Tidak ada pola khusus dalam membuat poncho ini. Ini asli modifikasi saya saja. Tutorial membuat granny squares dengan bagian tengah bulat bisa dilihat disini. Tutorial cara menyambung granny squares yang saya pakai bisa dilihat disini dan disini. Cara menyambung poncho bisa dilihat disini. |
Categories
All
Blog WalkingArchives
July 2024
|