Selamat pagi dari Danau Toba dan Pulau Samosir Hari kedua di Pulau Samosir dipenuhi jadwal jalan-jalan ke beberapa tempat. Pagi hari saya menyempatkan untuk memotret blue hour. Karena langit berawan tebal, jadi saya tidak bisa memotret sunrise. Saya juga berkeliling hotel, memotret suasana hotel pagi ini. Setelah sarapan dan siap-siap, kami berangkat berkeliling Pulau Samosir. Kunjungan pertama kami ke Museum Huta (rumah) Bolon Simanindo. Tempat ini buka mulai pukul 9 pagi sampai pukul 5 sore dan biaya masuk ke tempat ini Rp50.000/orang. Lokasinya berada hampir di ujung utara Pulau Samosir. Sekitar 15 km dari Amarita atau 20 km dari Tomok. Rumah adat ini adalah warisan Raja Sidauruk yang sejak tahun 1969 dijadikan museum. Di tempat ini, kita bisa melihat Parhalaan, Pustaka Laklak, ulos adat langka, perlengkapan adat untuk upacara, alat musik tradisional, aneka permanian tradisional seperti dalu putar dan janggar. Koleksi-koleksi ini terawat dengan baik. Di museum ini juga terdapat Patung Sigale-gale. Patung Sigale-gale di tempat ini terdiri dari patung perempuan dan patung laki-laki. Selain melihat-lihat museum, kami juga berkesempatan untuk melihat tarian tradisional Tor-tor Tunggal Panaluan dan tarian Sigale-gale. Di sini terdapat juga perahu adat (Solu Bolon) yang disimpan dibawah rumah.
Dari Museum Huta Bolon Simanindo, kami beranjak ke Museum Huta Siallagan di Ambarita. Biaya tiket di museum ini Rp2.000. Di sini kami ditemani pemandu yang masih keturunan Siallagan. Bapak Amel adalah keturunan Siallagan ke-15. Biaya pemandu serelanya. Ketika sampai di wilayah ini, kita akan menemukan papan nama yang bertuliskan: “Welcome to Stone Chair in Siallagan Ambarita”. Selain itu, kita akan disambut oleh tembok batu setinggi 1,5–2 meter yang mengelilingi kampung ini. Juga terdapat gapura yang bertuliskan Huta Siallagan. Di dalam kampung ini terdapat delapan rumah batak yang mempunyai fungsi berbeda-beda. Ada rumah yang digunakan sebagai dapur. Disini kita bisa melihat peralatan memasak. Bisa juga ditemukan tempat menenum kain ulos dan kita juga bisa membeli kain ulos disini. Tempat tinggal anak perempuan dibedakan dari yang lak-laki. Seperti yang terpampang di papan, kita bisa menemukan kursi batu Raja Siallagan. Kursi-kursi batu ini berada di bawah sebuah pohon besar yang disebut pohon Hariara mengelilingi sebuah meja batu dan biasa disebut sebagai Batu Persidangan. Disinilah para tetua mengambil keputusan hukuman untuk pelaku kejahatan. Hukuman yang dijatuhkan bisa berupa pemasungan atau hukuman pancung. Cerita mengenai batu persidangan dan hukuman yang diberikan bisa dibaca di sini. Jika ingin membeli souvenir dari tempat ini, ada penjual souvenir di bagian pintu keluar dari kawasan Huta Siallagan. Silakan pilih ulos yang disukai atau souvenir lainnya. Setelah puas keliling di Museum Huta Siallagan dan bertanya-tanya pada pemandu kami, perjalanan dilanjutkan untuk mencari makan siang. Agak rumit mencari tempat makan yang halal buat kami. Tapi akhirnya kami menemukan RM Mami dengan menu soto ayam dan ayam penyet. Makanan disini enak. Setelah kenyang, kami lanjutkan perjalanan ke Makam Raja Sidabutar. Disini kami mendengarkan penjelasan mengenai raja-raja yang dimakamkan di tempat ini. Untuk masuk ke tempat ini kami diharuskan untuk menggunakan selendang ulos. Ulos ini dipinjamkan di pintu masuk dan dikembalikan saat kami keluar. Cerita lengkapnya bisa dibaca di sini. Perjalanan hari ini dicukupkan sampai Makam Raja Sidabutar. Kami kembali ke hotel setelah hari sore. Malam ini ditutup dengan makan duren kampung maknyus yang dibawakan Pak Hendri dari kampungnya. Yuppp… Pak Hendri berasal dari Pulau Samosir. Sumber:
0 Comments
Leave a Reply. |
Categories
All
Blog WalkingArchives
July 2024
|